RSS

Mencari Bapak!!!!!


Sebelumnya saya tekankan bahwa saya menulis ini bukan karena tendensi apapun, dan juga tidak membawa misi terselubung. Hanya ingin menshare  apa-apa yang saya dapatkan dan alami.

Hmmm…. Mungkin dimulai dari ramadhan lalu, di sebuah agenda RDK, yaitu acara Dialog Parenting dengan pembicara Ust. Fauzil Adhim dan Ustadzah  Nunung. Satu pernyataan sang ustadz yang paling nyantol di kepala saya adalah : “untuk menikah nanti, jangan nyari calon suami, tapi carilah calon bapak. Kalau cuma nyari calon suami mah gampang banget.. di pinggir jalan juga banyak (loh?), tapi kl nyari calon bapak itu susaaaaahhh…..” he… mungkin ga persis gitu kalimatnya, tapi intinya ya begitu :p
Dua pekan lalu pernyataan itu saya sampaikan ke adik aai yang minta materi munakahat (- -‘) Setelah mendengar itu mereka pada manggut2 setuju… Bismillah, moga jadi awalan yang baik bagi mereka…
Nah, sampai dimana bahasan kita tadi???? yuph, sampai mencari calon suami.  Hal ini membuat pikiran saya melayang  ke salah satu kelas yang saya ambil tahun lalu, yaitu matakuliah Pengantar Konseling Keluarga  dan Perkawinan. Kelas yang tak terlupakan, soale tiap jadwal kelas ini, saya mesti lari pontang panting ke lantai 3 supaya ga telat, demi menghindari bencana disuruh nyanyi di depan kelas.  Ternyata lari pontang panting pun ga jadi jaminan, karena ternyata banyak juga yang tetep telat n mesti nyanyi dalam keadaan ngos2an. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, kalau memang sudah telat ya ga usah lari2.. karena ga akan mengubah keadaan… mending sepanjang perjalanan ke kelas dipakai untuk menghafal lagu n latian nyanyi sebelum konser di depan kelas ^^v

Paragraf di atas  tadi cuma ngalor ngidul mengenang kelucuan yang terjadi. Inti dari kelas itu adalah kami dipaparkan pada kenyataan… kami dijejali kasus2 keluarga yang benar2 terjadi dan diminta mengkritisi tiap kasus tersebut. Kelas ini bahkan sempat mendatangkan pelaku utama yang ada pada salah satu kasus, dan kami bisa berdiskusi dengan beliau. Dari semua kasus tersebut, kami (atau saya?) menyimpulkan bahwa sebagian besar keretakan/kehancuran rumah tangga itu tidak ujug2 terjadi, tapi merupakan akumulasi dari suatu awalan yang tidak tepat. Yang dimaksud awalan di sini adalah visi misi sebelum memasuki jenjang pernikahan…. (bukan cuma organisasi yang butuh visi misi di ADART) Hal ini sangatlah penting.. Karena tanpa kesepakatan visi misi sedari awal, akan rawan terjadi konflik di kemudian hari. Sang dosen bahkan berpesan, pikirkanlah visi misi kalian sejak saat ini, dan buat sedetail/operasional mungkin… karena visi misi yang sifatnya umum sangatlah multi tafsir… berikut ini contoh kasus nyata yang terjadi karena visi misi yang multi tafsir :

Seorang laki2, sebut saja pak Dodi (bukan nama sebenarnya). Pak Dodi ini merasa masa kecilnya tidaklah bahagia.. Bapaknya lebih sering menganggur, dan ibunya harus banting tulang bekerja untuk menafkahi keluarganya. Tiap hari sang ibu pulang dalam keadaan kelelahan…. Karena hal itu,  Dodi muda berjanji kelak ketika menikah ia akan membahagiakan istrinya, agar tidak mengalami apa yang dialami ibunya. Jadilah, sang Dodi muda ketika meminang gadis pujaan hatinya berjanji akan berperan sebagai suami yang baik dan membahagiakan istrinya…. Kalau di cerita2 fiksi seharisnya ini berlanjut dengan ‘happily ever after’. Tapi hidup bukanlah cerita fiksi… setelah menjadi istri dari pak Dodi, bu Dodi mulai stress dan lama kelamaan menjadi depresi… mengapa?? Karena sebelum menikah, bu Dodi ini merupakan perempuan yang tidak biasa berpangku tangan. Setelah menikah, pak Dodi melarang bu Dodi bekerja karena tidak ingin istrinya sengsara seperti sang bunda… ternyata bu Dodi yang semasa gadisnya biasa beraktivitas tidak menyukai perlakuan itu.. bu Dodi merasa useless sebagai seorang manusia… masalah tersebut lama-kelamaan terakumulasi dan retaklah keluarga tersebut.

Inti dari kasus di atas bukan tentang bagaimana seharusnya peran ideal seorang suami atau istri. Kasus ini lebih menekankan pada komunikasi yang tidak berjalan baik sejak awal, sehingga tertimbun terus dan meledak di kemudian hari. Keretakan ini tidak hanya menyangkut pihak suami-istri, tapi bisa melebar tak terhingga. Efek negatifnya bisa sampai ke anak, extended family, bahkan masyarakat. Ini juga yang kami gali di proyek tugas akhir kami dengan anggota tim yang keren2  ;P

Masalah visi misi yang tadi sempat saya singgung  mengingatkan saya  pada status seorang teman di fb (di dunia nyata juga kenal sih..) yang menuliskan bahwa “jika Anda bukan ikhwan dari partai X, jangan harap bisa menikahi akhwat dari partai X, karena pasti ditolak”. Status ini mengingatkan saya pada sebuah skripsi (atau thesis ya?) yang saya baca di perpus fakultas. Hipotesisnya kurang lebih mirip. Menurut saya, hal ini terjadi bukan karena perbedaan partai. Sangat picik bila memutuskan pasangan hidup hanya karena partai. Dalam QS An Nur 26 jelas2 tidak menyebut ‘perempuan partai X untuk laki2 partai X’. Tapi kenapa sampai muncul fenoma yang terlihat seperti itu??
Bila ditilik dari prinsip visi misi ini, seseorang harus tau apa yang ingin ia raih. Untuk itulah ia membuat visi misi hidup, dan visi misi pernikahan juga termasuk bagian dari ini. Jadi bukan  baru membuat visi misi ketika sudah akan menikah lho!!(- -‘) nah, ketika muncul seorang(atau lebih??) calon pasangan hidup, kedua orang ini saling memaparkan visi misi masing2… ketika memang cocok, ya lanjut… atau  ada yang lanjut setelah salah satu ada yang rela mengkompromikan beberapa misi yang tidak sesuai. Ga masalah… yang penting visi misi ini akhirnya bisa match. Kalau memang tidak bisa match, ya saygoodbye…. Kalau ingin idealis mesti seperti itu… walaupun tidak bisa dipungkiri juga the power ofistikharah, karena terkadang logika kita belum tentu benar  ^_^
Kembali ke soal partai X, bisa jadi bukan tentang partai ini yang menjadi alasan utama, tapi lebih dikarenakan sesuatu yang lebih mendasar, yaitu visi misi hidup tadi. nah, partai atau apapun gerakan yang diikuti hanyalah salah satu parameter yang bisa dijadikan tolak ukur. Kenapa bisa begitu??karena seseorang memilih partai/ gerakan tentunya didasari oleh kesesuaian parta/gerakan tadi dengan visi misi hidup orang tersebut yang sifatnya sangat mendasar/prisip. Jadi kalau terjadi kasus seperti status teman tadi atau skripsi yang saya baca, janganlah pragmatis hanya melihatnya karena perbedaan partai/gerakan, tapi lihatlah apa yang mendasari dari semua itu.Bener ga sih????? Wallahu’alam bi showab , itu tadi cuma analisis saya J

Btw soal matakuliah PKKP… ini merupakan matakuliah yang sangat saya rekomendasikan untuk semua mhsw psikologi (bahkan yg non psi). Soalnya ini lumayan bisa menetralisir ‘doktrinasi’ yang aneh2 ^^v kemarin sempat membahas ini dengan 2 orang sahabat. Kami sama-sama merasakan bahwa beberapa dosen aura feminisnya sangatlah kental( ga semua lho), dan aura ini terasakan ke para mahasiswi. Seolah2 psikologi hanyalah ‘untuk Anda’, bukan ‘untuk kita’. Apalagijika dibandingkan dengan prinsip Islam…. Wuiiihhhh…. Bakal banyak banget teori2 ataupun prinsip2 hidup yang sangatlah bertentangan dengan Islam. Itulah kenapa kita mesti kritis ^^v nah, kuliah PKKP ini lumayan bisa ‘menetralisir’ doktrinasi feminisme yang tersebar J

Nah… dari tulisan saya yang luas (panjang x lebar) di atas, beberapa poin pentingnya adalah tentangMENCARI CALON BAPAK(atau ibu) dan VISI MISI YANG OPERASIONAL ^,^  Sudahkah kalian (saya) memikirkan tentang semua itu???  bukan hanya visi misi yang ABSTRAK, dan bukan pula visi misi yang mendadak dibuat setelah sudah ada calon yang  ‘diincar’. Karena menikah bukan hanya tentangijab qobul dan walimatul ursy.. tapi ini menyangkut PERADABAN yang akan kita bangun. Membangun rumah saja mesti ada perencanaan matang, apalagi untuk membangun peradaban. Ini bukan main2.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan petuah yang saya terima dari murobbiyah saya dulu, yang kalau tidak salah beliau juga mendapatkan itu dari sang murobbiyah beliau ;) isinya kurang lebih seperti ini “seseorang yang merasa yakin siap menikah, ia akan merasa sama siapnya jika harus menikah saat ini juga, atau 10 tahun lagi, atau bahkan jika ia ternyata ia tidak mendapat jodoh di dunia. Ia akan siap dengan semua itu” nah lho, siapkah kita untuk menikah detik ini?? Atau 10 tahun lagi?? Atau siapkah kita bila Allah ternyata memutuskan bahwa pasangan kita ada di akhirat?? Siapkah kita dengan semua kemungkinan tadi?? monggo dipikirkan ^__________^

Forbidden for Akhwat

repost dari tulisan lama saya:



Entah kenapa saya menuliskan ini, karena saya tau kalau akan ada beberapa orang yang sangat tidak setuju dengan tulisan saya nanti. Tapi saya hanya ingin menyampaikan fenomena yang saya tangkap, dan mencoba melihatnya dengan perspektif yang lain.
Bila dilihat dari judul di atas sudah jelas apa topik bahasan kita. Yuppp…. Tentang makhluk yang luar biasa dan istimewa, yaitu akhwat ^^. Sebenarnya saya tidak bermaksud mengkotak-kotakkan sebutan untuk perempuan. Tapi untuk kali ini saya memang ingin membahas tentang akhwat. “Akhwat” biasanya diidentikkan dengan muslimah yang berjilbab tidak terlalu mungil, menggunakan rok/gamis, dan berkaos kaki. Itu tadi gambaran umum secara fisik. Tambahan dari itu, biasanya ‘akhwat’ ini aktif di kegiatan/organisasi, sehingga juga mendapat sebutan ‘aktivis’.
Inti dari paragraph di atas adalah banyak sekali stereotip yang beredar tentang seorang akhwat. Selain stereotip tadi, tidak jarang pula muncul komentar-komentar miring jika akhwat melakukan beberapa ha, sehingga sudah seperti menjadi sesuatu yang tabu bagi seorang akhwat. Berikut ini akan saya sampaikan beberapa hal yang paling sering disinggung. Sebenarnya bukan pengalaman pribadi, karena belum ada (atau saya lupa^^) yang mengkritik life style saya secara tersurat (mungkin pernah secara tersirat, tapi saya ga paham). Ini berdasarkan curcol beberapa akhwat yang kebetulan mendapat teguran/sindiran baik secara tersurat ataupun tersirat. Apa saja itu?? Let’s check it out:

1.Akhwat ga boleh ke mall
Kalau mendengarkan komentar beberapa orang yang menceritakan bahwa ada akhwat yang ‘tertangkap  basah’ sedang di mall, seolah-olah ke mall bagi akhwat merupakan perbuatan dosa. Alasannya apa? Entahlah. Kalau berdasarkan tebakan saya sih mungkin karena ke mall itu identik dengan gaya hidup hedon, atau karena resiko ikhtilat. Agak berkebalikan dengan ini, kebanyakan orang menanggapi dengan positif bila seorang akhwat pergi ke pasar tradisional. Saya beberapa kali ke mall, tapi lebih sering lagi ke pasar(terutama Bringharjo^^). Terkadang ada orang yang geleng-geleng kepala dan berdecak ketika tau saya habis pergi ke mall. Namun ketika mereka tau saya baru habis ke Bringharjo, mereka langsung memberikan apresiasi positif, apalagi kalau saya berhasil menawar dengan harga yang sangat murah, waaah… saya akan dipuji habis-habisan.
Mall vs pasar tradisional. Dugaan saya, orang-orang menanggapi dengan positif akhwat yang pergi ke pasar, karena itu berarti sang akhwat bisa berhemat dan sederhana. Amat berlawanan dengan akhwat yang ke mall. Padahal…… coba kita lihat…. Di pasar itu peluang ikhtilatnya saaaaaaangaaaat besar. Silahkan datang ke Bringharjo. Luar biasa kalau Anda bisa berhasil berbelanja di situ tanpa bersentuhan dengan seorang pun. Bandingkan dengan jika Anda berbelanja di mall. Tempatnya lapang (mungkin kecuali weekend) dan Anda sangat berpeluang berhasil berbelaja tanpa bersentuhan dengan siapapun. Selain itu di mall biasanya juga mengatur tata letak barang sesuai dengan gender. Sehingga blok belanjaan laki-laki dan perempuan terpisah. Tidak seperti di pasar, yang semuanya bercampur baur. Jadi salahkah bila ada akhwat yang ingin lebih menjaga dirinya? Bila bisa mendapatkan kondisi yang lebih ideal, mengapa harus memilih yang kurang ideal??

2. Akhwat ga boleh ke bioskop
Hmmmm… untuk topik yang satu ini saya rasa memang sangat kontroversial. Saya rasa memang lebih banyak orang yang tidak setuju bila akhwat pergi ke bioskop, walaupun mungkin alasan ketidaksetujuan ini hampir sama dengan topik tentang mall tadi. Sayabukan cinemaholic. Tapi saya memang beberapa kali ke bioskop, ketika ada film yang benar-benar bagus. Di luar itu, saya jauuuuuuuhhhh lebih sering menonton film dari rental dan saya agak meragukan keoriginalannya, atau menonton film yang saya copy dari laptop teman.
Bioskop vs nonton bajakan. Mungkin jika kita ke bioskop, akan ada resiko-resiko seperti yang saya sebutkan tadi. Tapi coba bandingkan dengan menonton film non-ori. Jelas-jelas di cover kaset/cd/dvd ada tulisan “mengcopy tanpa izin dari pemilik hak cipta merupakan pelanggaran hukum blablabla..”jadi gamblangnya kita ikut serta dalam pelanggaran hukum walaupun tidak secara langsung. Okelah, memang ada sebagian orang yang mampu dan mau membeli film yang original. Tapi ayolah kawan kita jujur, lebih banyak mana : yang menonton bajakan atau original?? Sering kali jelas-jelas filmnya masih ditayangkan di bioskop, tapi sudah ada yang menonton dvdnya. Tentang resiko ikhtilat ketika di bioskop tadi saya rasa bisa disiasati. Misal dengan mengajak keluarga, atau menyesuaikan timingmasuk-keluar bioskop serta memilih posisi duduk yang kondusif. Jadi mana yang lebih banyak mudharatnya??

3.Akhwat ga boleh nge-laundry
Topik ini sering kali saya dengar. Bila ada akhwat yang ketahuan nge-londri biasanya diceramahin “nyuci itu termasuk skill ibu rumah tangga blablabla….”, “masih akhwat aja udah kayak gini apalagi kalau sudah ummahat blablabla” dan masih banyak komentar lainnya. Saya memang buka ahlullondri. Tiap hari saya nyuci lho.. Tapi buka berarti seumur hidup saya ga pernah ke laundry. Ayo coba kita pikirkan alasan positif mengapa akhwat nge-londri. Bagi yang hanya melakukannya sekali-sekali mungkin memang karena urgent. Berbeda dengan akhwat yang melakukannya secara terus menerus. Ayo coba kita pikirkan alasan positif mengapa akhwat nge-londri.
Bisa jadi sang akhwat memiliki amanah segunung, yang sebagian besar berpengaruh pada banyak orang. Mungkin waktu yang dihabiskan untuk mencuci baju bisa jauh lebih bermanfaat bila digunakan untuk hal lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak tadi. Misal ada syuro yang sangat penting, dan si akhwat ini tidak bisa hadir dengan alasan ini jadwalnya mencuci baju. Agak kurang bisa diterima bukan??
Terkait dengan bagaimana bila sudah menjadi ummahat, saya rasa kewajiban utama dari ummahat adalah taat pada suami dan mendidik serta membesarkan anak. Jadi mencuci pakaian dengan tangan merupakan hal yang sifatnya cabang dan bukan prioritas. Selain itu, toh juga ada makhluk yang bernama mesin cuci. Bila bisa dibuat praktis, kenapa harus dibuat susah?? Okeoke… skill kerumahtanggaan memang penting. Tapi pekerjaan rumah tangga itu bila dilakukan tidak akan pernah ada habisnya. Nyapu lantai, ngepel, masak untuk sarapan, pergi ke pasar, nyapu&nyiram halaman, masak untuk makan siang, beres-beres rumah yang sudah berantakan lagi, masak untuk makan malam, beres-beres.. saya pernah mencoba melakukan semua itu. Bahkan waktu seharian pun tidak cukup untuk melakukan itu semua. Padahal kan hidup kita tidak hanya tentang itu. harus ada alokasi waktu untuk amal-amal yaumi, silaturahim, bercengkrama sengan keluarga, bermasyarakat, bekerja, de el el. Bisa kita lihat mana-mana pekerjaan yang bisa digantikan dan mana yang harus kita lakukan sendiri, mana yang harus dilakukan dan mana yang bisa diabaikan ^^v. jangan memaksakan diri untuk jadi superwoman, karena nanti malah stress sendiri ;)

4.Akhwat ga boleh ngebut
Hehehehe…… karena akhwat memang sering menjadi raja jalanan (mengutip isi komik booklet pmb). Saya paham mengapa banyak yang sebel kalau melihat akhwat ngebut. Berikut ini beberapa hal yang bisa dijadikan alasan berdasarkan hasil observasi di sekitar saya:
a.
Kebanyakan akhwat harus berjinjit ketika mengendarai motor ^^v. ini sangat berpengaruh pada keselamatan, karena ketika harus nge-rem mendadak biasanya jadi jatuh soalnya sulit untuk menjaga keseimbangan karena motor yang dinaiki ketinggian. Makanya sering kali kita mendengar akhwat mendapat kecelakaan.
b.
Kebanyakan akhwat yang ada di kampus (kampus saya) baru bisa mengendarai motor ketika sudah di kampus, sehingga tidak memiliki sim. Bagi yang memiliki sim pun banyak yang mendapatkannya dengan jalur ‘ekspress’ alias ga pakai tes. Trus apa hubungannya??? Ngaruh lho… orang-orang yang ga punya SIM atau yang memperoleh SIM tanpa tes ini biasanya kurang paham tentang aturan dan adab-adab lalu lintas, sehingga kalau ngebut sering ngawur. Mendadak motong jalan lah… belok ga nge-reting lah… ga liat-liat spion lah.. pokoknya hal-hal yang bisa mendzolimi pengguna jalan yang lain. Bahkan seorang temen cowok saya di kampus pernah bilang ke saya “ngeri kalau lihat akhwat-akhwat naik motor, suka ngawur”


Tapi buka berarti ngebut ga ada gunanya lho… saya pikir ada kondisi-kondisi yang memang sebaiknya akhwat itu ngebut. Misal ketika berkendara sendiri di jalan yang sepia tau ketika terpaksa harus keluar malam hari. Untuk kasus ini lebih baik ngebut.. soalnya bisa mencegah gangguan orang-orang yang berniat buruk. Ketika ngebut kita bisa memperhatikan bila ternyata ada orang yang dari tadi membuntuti. Selain itu dengan ngebut juga kita bisa segera sampai di tempat tujuan yang lebih aman

tapi ingat lho, ngebutmya dengan memperhatikan aturan dan adab-adab lalu lintas, bukan ngebut yang ngawur.


5.Akhwat kok nyalon

Memang jarang sekali akhwat pergi ke salon. Sehingga bila ada akhwat yang ketahuan ‘nyalon’ kesannya gimana gitu.. padahal kan ke salon bukan untuk dandan menor.. biasanya akhwat pergi ke salon untuk potong rambut atau creambath. Apa yang aneh denga itu?? kan ga semua orang bisa motong rambut sendiri dengan benar.. selain itu dengan sering ditutup jilbab kulit kepala bisa dan rambut bisa bermasalah, terutama untuk kepala-kepala yang sensitif. Nah, itulah gunanya creambath. Begitu juga dengan perawatan-perawatan lain.. Jadi nyalon juga salah satu usaha untuk menjaga keberishan dan kesehatan. Toh juga sekarang sudah mulai bermunculan salon-salon khusus muslimah. Walaupun mungkin sedikit lebih mahal daripada salon biasa, tapi jelas bisa lebih terjaga masalah kehalalan produk dan hijabnya. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa nyalon itu mubazir, ga mencerminkan hidup yang zuhud, blablabla…. Walaupun saya buka ahlussalon, menurut saya itu bukan masalah selagi orang tersebut bisa mengalokasikan uangnya dengan tepat sehingga bisa tetap bersedekah. Contohnya(ini cuma rekaan saya), bila ada seorang akhwat berpenghasilan 5 juta per bulan. Setelah menunaikan zakat profesinya, ia menggunakan uangnya untuk hal-hal lain termasuk 100 ribu untuk nyalon dan 500 ribu untuk sedekah. See??  Masih jauh lebih banyak uang yang digunakan untuk sedekah. Bandingkan dengan orang yang tidak menggunakan uangnya untuk ke salon, tapi juga tidak bersedekah. Jadi salah kah bila akhwat pergi ke salon??

6.Akhwat bermobil
Di sekitar saya memang jarang ada akhwat bermobil. Tapi tetap saja banyak yang merasa kesannya gimana…. gitu.opini terbanyak sih menganggap itu bukan perilaku zuhud.Zuhud itu relatif lho… Orang yang sebenarnya mampu mengendarai mercy dengan sopir pribadi, tapi ia lebih memilih untuk mengendarai mobil yang jauh lebih sederhana dan menyetir sendiri, menurut saya itu merupakan perilaku yang sangat low profile… berbeda dengan orang yang sebenarnya secara kemampuan (maaf) hanya mampu membeli sepeda, tapi memaksa orang tuanya untuk membelikan motor yang di luar kemampuan mereka. Memang bila dilihat, orang yang bermotor ini lebih sederhana daripada yang bermobil tadi. tapi mana yang sebenarnya lebih low profile atau zuhud?
Selain itu, mengendarai mobil jauh lebih aman daripada mengendarai motor. Bila terserempet, yang luka adalah badan mobil, bukan badan pengendara. Kecuali bila kecelakaannya parah. Selain itu bisa meminimalisir ikhtilat dengan pengendara lain di jalan atau di traffic light.
Jadi berdosakah bila seorang akhwat bermobil??

7.Tabu bagi akhwat untuk makan di tempat yang lumayan mahal
C’mon guys, kita lihat dulu tempat yang dipilih. Apakah itu produk boikot?? Apakah itu bersertifikat halal MUI?? Apakah higienis?? Kalau tempat makan yang dipilih memang halal (terutama halal MUI), bukan produk boikot, dan memang menyehatkan dan higienis, ya sudah.. Apa yang salah dengan semua itu?? karena mahal? Mahal itu relatif…bandingkan dengan makanan yang walaupun murah tapi tidak terjamin kehalalannya, kurang sehat, dan kurang higienis. Kalau dia memang mampu untuk mendapatkan yang lebih baik, ya Alhamdulillah, dan semoga setiap orang bisa mendapatkan yang baik pula.

Bisa jadi masih banyak lagi hal-hal yang dianggap “forbidden” bagi akhwat. Tapi yang melintas di kepala saya saat ini cuma itu. Selain itu,mungkin contoh-contoh yang saya sebutkan tidak bisa digeneralisir. Tapi maksud saya adalah bagaimana agar kita tidak melihat suatu hal hanya dari sati persepktif. Bagaimanapun cara hidup yang diambil seseorang, cobalah berhusnudzon bahwa Insya Allah ada hujjah yang tepat atas pilihan yang diambil, sesuai dengan kondisi masing-masing orang.
Akhwat memang makhluk yang sangat berharga dan harus dilindungi. Namun tidak semua akhwat bisa merasakan keadaan yang ideal seperti tinggal bersama keluarga sehingga kemana-mana bisa didampingi mahrom, sudah ada yang mencukupi kebutuhannya sehingga tidak perlu keluar lagi untuk berikhtilat, sudah tercukupi secara finansial sehingga tidak perlu mencari nafkah.. sayanganya lebih banyak orang yang harus berkompromi dengan keadaan yang kurang ideal. Di antara yang kurang ideal itu lah kita harus memilih yang mudharatnya paling sedikit.
Semoga tulisan ini juga bukan merupakan pembenaran atas sesuatu yang memang salah, karena ada banyak orang yang melakukan hal-hal di atas dengan alasan yang di luar alasan yang saya sebutkan di atas. Wallahu’alam bi showab.. keep husnudzon guys ^.^

makna sebuah rumah

Dulu sekali, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku sempat bingung kenapa versi Inggris dari kata ‘rumah’ ada dua. Kadang disebut ‘house’ dan kadang disebut ‘home’. Padahal artinya sama, yaitu ‘rumah’. Lama kelamaan akhirnya aku bisa menemukan sense yang berbeda antara dua diksi tersebut. Ada berbagai jenis bangunan yang bisa disebut rumah, tapi belum tentu semua penghuni di bangunan tersebut merasakan itu sebagai ‘rumah’ mereka. Yang paling diharapkan adalah ‘house’ yang sekaligus ‘home’.
Lantas, di manakah rumahku? Atau bila menggunakan versi bahasa Inggris, “where is my home”?
Rumah yang pertama kali bisa kuingat adalah sebuah bangunan asrama polisi dengan 2 kamar tidur. Rumah yang sangat sederhana. Sebenarnya ini bukan rumah pertamaku. Ketika baru dilahirkan aku tinggal di asrama lain, yang jauh lebih sempit. Tapi karena aku tidak bisa mengingatnya, bangunan itu tidak pernah kuanggap sebagai rumah. Jadi di bangunan sederhana tadi lah aku merasakan ‘home’ yang pertama. Walaupun sederhana, aku selalu merasa itu sebagai istana yang paling indah daripada asrama di kanan kiri kami. Kenapa? Karena rumah ini lah yang paling bersinar. Orang tuaku selalu merawat rumah ini sebaik mungkin. Orang yang melihat pun selalu merasa ‘adem’ dengan pagar hidup yang rapi terpangkas, pohon buah-buahan yang berbuah ranum, dan berbagai jenis bunga yang berwarna warni. Belum lagi ayam berkaki pincang yang sangat kami sayang, itupun turut memperindah rumah kami. Itulah rumah pertamaku, yang kudiami semenjak ku bayi hingga kelas 1 SD bersama dengan orang tua, 3 kakak laki-laki, dan nenekku.
And then my second home. Setelah bertahun-tahun tinggal di rumah itu, kami akhirnya berpindah ke asrama lainnya. Rumah ke dua ini hana berjarak beberapa ratus meter dari rumah kami sebelumnya. Untuk waktu yang cukup lama, tidak ada orang yang mau tinggal di asrama ini, karena penghuni sebelumnya meninggal di sini dan itu dianggap membawa sial. Dan ke rumah itulah kami berpindah, tanpa peduli dengan mitos yang beredar. Ketika smua orang yang lebih besar sibuk mengangkut barang untuk pindahan, aku yang saat itu masih berusia 6 tahun juga turut membantu : menggendong ayam kesayanganku dan anak-anaknya ke rumah baru kami ^_____^
Disitulah kami, perlahan-lahan menghilangkan kesan ‘suram’ dari rumah tersebut. Seperti rumah kami sebelumnya, aku kembali merasa asrama kami yang baru ini jadi paling bersinar daripada asrama di sekitarnya J Buah-buahan yang berlimpah, dan berbagai jenis bunga yang bergantian mekar. Di rumah ini juga aku pertama kali memperoleh kamar untuk diriku sendiri. Saat itu aku menangis karena sedih tidak diizinkan menempati kamar yang sama dengan kakak-kakakku....... tapi akhirnya aku sangat menyukai kamarku. Kamar ukuran 3x3 m yang memiliki pintu dan jendela yang enghadap langsung ke taman bunga. Pemandangan yang luar biasa!!!

Itu tadi rumah ke duaku.Aku sangat menyukai rumah itu. Karena dengan halaman yang luar, kami bisa menanam berbagai tanaman dan memelihara berbagai binatang J tapi sayang, ketika aku berusia 10 tahun kami harus keluar dari rumah itu karena bapak sudah tidak lagi bertugas di kota ini. Setelah berembug, kami sepakat utntuk membangun rumah seadanya. Hasil musyawarah, kami membangun rumah di tanah bapak di pemaron, dengan pertimbangan lokasinya yang dekat dengan masjid. Rumah pun dibangun dengan semua uang yang bisa diusahakan: ibu menjual semua perhiasan emas yang dimiliki kecuali mas kawin dari bapak, bapak menjual semua ternak yang dimiliki, dan isi rekening tabunganku dan saudara-saudaraku juga digunakan untuk membangun rumah. Karena minimnya anggaran yang kami miliki, sebisa mungkin kami melakukan pekerjaan yang bisa kami lakukan. Misalnya, kakak-kakakku membantu menggali untuk membuat fondasi, Aku membantu mengecat genteng yang belum dipasang. Ketika rumah baru setengah jadi, kami langsung pindah ke rumah ini. Perlahan-lahan kami menyelesaikan rumah ini. Bapak mengecat sebagian tembok rumah. Kami (anak-anak) mempelitur kunsen, pintu, dan jendela. Pokoknya, kami melakukan apa yang bisa kami lakukan, karena tidak ada lagi uang yang tersisa untuk membayar tukang yang bekerja profesional. Hehehe..... untunglah bapakku tipe orang yang mau melakukan apa saja, dan itulah yang beliau ajarkan pada kami. Setelah bertahun-tahun, akhirnya bisa dibilang pengerjaan rumah ini selesai. Di rumah ini lah aku tiggal hingga saat ini.

dari tiga bangunan yang kusebut rumah tadi, aku bisa menarik 1 kesimpulan: ‘home’ atau rumah bagiku bisa dimana saja, selama itu bersama dengan orang-orang yang kusayangi. Entah itu di asrama yang sempit ataupun di bangunan yang kami bangun dengan keringat kami sendiri. Rumah adalah tempat dimana aku bisa merasa aman dan terlindungi. Tempat dimana aku merasa bahwa inilah tempat yang paling bersinar dan menyejukkan. Tempat dimana kami sama-sama belajar dan memperbaiki diri. Tempat kami mempersiapkan diri untuk membangun peradaban. Itulah rumah bagiku J


Singaraja, 9 September 2011
01.20 WITA di tenga kesunyian malam yang herannya bebas dari lolongan anjing-anjing tetangga